PUISI-PUISI AWAL (1953-1960) - Taufik Ismail

                                  PUISI-PUISI AWAL (1953-1960)-TAUFIK ISMAIL
                                                                           
Hasil gambar untuk TAUFIK ISMAIL



Tentang Taufiq Ismail
Taufiq Ismail, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935 dan dibesarkan di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.





         
Penghargaan
Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993).

BERIKUT BEBERAPA KUMPULAN PUISI AWAL (1953-1960)


Doa dalam Lagu
Ibuku karena engkau merahimiku Merendalah tenteram karena besarlah anakmu

Ayahku karena engkau menatahku Berlegalah di kursi angguk laki-laki anakmu

Tuhanku karena aku karat di kakiMu Beri mereka kesejukan dalam dan biru.

1953 

Dadang, Pemetik Kecapi Tua

Kepada Bahrum Rangkuti

Dilingkarkannya angin pegunungan pada denting-denting selalu di suara sendu berlagu margasatwa

Bila Dadang tiba tua, dan ada bersua senyap angin bening lembah

Kumandanglah kumandang timang desir lena angin subuh bambu-bambu berlagu selalu rindu

Sepagi embun Dadang tua tiba, menyingkap cadar hari berlagu lembah biru dan burung pagi mengitari dada bumi.

 1954

Rimba Jati (Alas Roban)

Mendenyut kemarau ke jantung rimba Hutan Roban jati mengujur bukit Kehidupan coklat terbentang di sela musim

Seekor elang menyelinap hitam dahan-dahan botak telanjang Lengking menikam ruang terkabar daun-daun kesat membumi Tanah mersik menua, jati dewasa di dada

Mendesing musim ranggas kuning-kuning bercenungan Bukit penyimak peristiwa terbungkuk tua Mengujurkan kakinya ke laut kelabu

Gairah terbaring pada satu hanya musim Depan rimba jati, mendenting pada satu titik api Gairah terik musim membakar jantung rimba jati

Menerjang asin ombak ke kaki bukit terbungkuk tua Bumi mersik lekah di puncak demam makin melela Demam rimba jati dituang ke satu titik api musim di muka.

 1955

Kemarau di Desa Bangkirai

Seekor anjing melolong larut di lereng bukit bertubir Bulan merah di sungai bulat mengapung. Hangus dan pijar Kurus lembah kuning patah daun tebu didukung punggung gunung Melantun bayang tetes pancuran: tubuh jerami merapuh

Malam Ramadan dinginnya menusuk ke hulu tubuh Kemarin tengah hari udara meleleh di Padang Panjang Kerbau si Sati, kambing coklat mengah-ngah Kilangan berputar deriknya ngilu tebu begitu kurus-kurus

Di ladang padi sekeping bumi kering makin retak-meretak Di jantung penghuni rindu dan dahaga tetak-menetak

Kami terbaring di pondok pelupuh Malam Ramadan ngilunya lagi Ketika teriakan siamang bertalu membelahi lembah Sati melompat bangkit menerjang daun jendela: Hitam kental mencat daerah sangsai

Lereng huma padi mendenting kehausan Musim manis pabila tiba?

hari berhujan sayang subuh berasap tungku tengguli

Tapi malam kemarau belah teriakan siamang bertalu-talu*)
Menopan ke jantung penghuni mengentali deru
Musim hujan datang! Musim hujan datang!

Hujan oooi, hujaaaaan!
Hujan oooi, hujaaa – aaa aa – aaan!

 1955

*) Penduduk sekitar Baruh di kaki gunung Singgalang bertahayul, bahwa apabila di larut malam siamang berteriak-teriak, maka keesokannya tentu akan terjadi apa-apa yang luar biasa.

Pelancing Kemalaman

Kelenjar yang didarahi lecut angin lorong berisik dalam jantung meramu angan sendiri aspal rengkah musim kemarau di sore lembab dan gerimis pintu-pintu yang bertutupan ada janji pelancong dengan dunia

Menginap malam di tengah perjalanan sebuah kota yang nyenyak terdingin larut di kaki lima raun peronda kantuknya dilempar ke pangku perempuan malam truk barang lewat raung satu-satu bermata nyalang sepi trotoar mengendapi jantung pelancong yang tambah sepi di los pasar rasanya sejuk mengecil aku tidur mau di sana ah ucap pelancong kecil rasa sejuk mengecil na ada hangat tikar ikan peda semalam ini janji dia dengan bangsal pasar dunianya kemudian dentang-dentang pekayuan di gudang pagi penjaja sayur dan pedati luar kota yang memekak dan pelancong kecil yang menjelajah kutu di celana kumalnya.

1955

Membajak Kembali

Orang-orang telah membajaki sawah-sawah kembali karena lewat sudah musim kemarau menguning bumi lekang kering menafaskan lagi air membening

Di punggung bukit-bukit awan hujan bergantung biru pepohonan di desa mulai dipukul angin beruap lembab tangkai-tangkai besi bajak dan penyawah-penyawah berselubung harap di jantung, kerbau-kerbau di-hee, yaaaaah! hee yaaaah! anak-anak perempuannya mengantar sarapan cuma nasi jagung dan ketela kering, ibu-ibu bersingsing kain hati sesak bertopi caping setiap dada berlingkar cemas harap mata dikandungi sesuatu menyesak dan mulut meneriak: hee yaaah! hee yaaaaah yaa aaaah!

Lumpur terbalik baring berbongkah-bongkah mata dibayangi awan hujan, meniti di pematang sawah lingkar-lingkar di leher bukit harapan bumi bernafaskan air panen padi kuning selepas kemarau melekah kering dan teriak kini merencah teriak kian meresah: hee yaaaah! hee yaaaaah!

Riwayat

sebuah kisah yang dibangkitkan dari antara keluarga-keluarga para penenun dan pembatik di kota P.

    Hidup yang bergalau gemertak deru mesin tenun pada siur jaringan benang dan ragi kain panjang pada tawarnya hati bila anak jadi berbesaran sebuah keluarga sendiri pula dunianya

    ibunya, ibu berwajah hangus diang tungku terbungkuk begini renta cuma bertutup dada nafkah bertuangkan lilin mendidih dan jejak canting tembaga

    bapanya, bapa penenun tua jika pagi-pagi sekali (penabur gigih dari persemaian menyemi di hati) menganyamkan kehidupannya bila peluit pabrik berbunyi

    tidak ingin bapa melantangi gemuruh pedal mesin tenun karena berteguh janji jadi penyemai sabar setia sejemput benih, tergenggam di jarinya dan jari ibu tua disuburi lilin mendidih, kesibukan kukuh papan tenun berlaga

    Bila mendewasa kanak: bujang dan gadis remaja dibesarkan di gubuk tepi kali basuhan kain mori sudut sebuah kota iklimnya kewangian desa ramah bumi persemaian, pinta doa bersahaja

    bila malam turun di satu akhir tahun diintip kerlip kandil di pelupuh gubuk mungil bapa bersila padat, irup kretek berdecit-decit bujang meningkah, meregang kejang tadi siang ibu bersugi merah sirih, lamban perlahan melepas pandang sayang pada gadis mengikal kembang

    bila tiba-tiba saja bapa berkata
    (ibu menggeser merah sugi, gadis memilin tepi kain)
    -kelamarin pagi keluarga Diman,
    datang meminang kau Idja

    Idja tersirap Idja dara berikal kembang tunduknya hening berpintal damba dambanya damba abang Diman dambakan tanah ramah menggembur bumi persemaian di lepas riba tua berjalin sari kesayangan

    Hidup, yang bergalau gemertak deru mesin tenun pada siur jaringan benang dan ragi kain panjang penabur setia, di subur dada bumi yang ramah dan menerima.

 1955

Hanggar 17

Di malam seng seng gudang menyanyikan cahaya bulan sebulatnya hati rindu yang terkapar penumpang bersesak di dek dikemahi tenda kasar pelampung dibasuh alun mengkaca bintang dan bulan

Kamar kapitan disiur temali tiang haluan orang-orang ramai berkemas lupa mabuk tanjung cina di palka bunda cenung memangku ananda tidur diriba mengimpi disusul bapa kota jakarta

Buritan berterali besi kesat diuapi garam buyung dan gadis berceloteh gelak asing mengempas anak-anak heboh berbenah cucu asing pula nakalnya di luar langit dan laut, kapal terjangkar disapu warna kelabu

Kapal ini dari logam tua angguknya dalam satu-satu kelabu warna tanjung, hitam kapal beracungan tiang-tiang lautnya bernafas berat dan alim, laut teluk jakarta begini cinta kelabu warna kuala diperaki bulan dan kerdip bintang mengkilat kelabu tanjung periuk sosok hitam kapal terjangkar Di geladak semakin ribut pasasir semakin cerewet dentang-dentang kamar mandi, centeng-perenang barang pamili maki dan carut, bahak dan celoteh kakek bertudung handuk, dara bergaun malam mendenyut di kelenjar tubuh pukau merapat ke pelabuhan pukau daratan mengental ke dentang-dentang di jantung

Mesin uap menderu berat air bersibak ke hanggar tujuh belas masing penumpang dengan jantungnya sendiri, naik merapat langit tanjung periuk panas oplet deru mendebu mengantar pasasir ke riuh laga di kota jakarta.

 1955

Lagu Roban

Bermerahanlah bunga semak liar pesisir rimba jati Pantai sepanjang liku berlambai kelopak randu
-dan menjarak kau,
-musim kemarau bertangan pijar

Limas bukit biru remaja, jati-jati berputik Laut genit mengempas pucuk buih berbunga
-dan bermukimlah kau,
-musim hujan berdada lembut.

 1955.

Mimpi

Mimpi yang bernas melepas kejang remaja pandang ranum antara kita mengenggani hadir orang ke-3

Langit panas biru muda lantang nafas darah belia mengembang bunga di pekarangan di saban tumpak dan debarnya dada

Kerja sehari-hari membilang panas nafas kemudian percakapan di langkan kediaman mimpi ranum menggeliati kejang remaja.

1955

Nostalgia Pelayaran Atlantika

Rindu pun kerna semenanjung dua benua mengeras di julang perbatuan karang

Dendam pun kerna biru teluk Lisboa di dada tertatah serasa berlinang.

1957

Kelopak Musim Semi

kepada Helen Werrbach yang memanggang rotiku kering yang menisik piamaku sobek

Di Teluk Ikan Putih, telah terjangkar jasmaniku di pelabuhannya Pada kapal-kapal yang masuk dan tertambat sehari-hari Anak-anak camar bertebar atas arus melancar Dan perbukitan dandan perlente pina-pina berduri

Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang Pada langitnya keruh asap, bayang bangunan dan baja Di perut kota bangkitlah malam sambil melenggang Dan dermaganya hening lelap, berlelehan kristal kaca

Selamat jalan, malam-malam putih berhujan kapas Lewati perairan alim dengan pipinya dingin Masih ada yang berlinangan di sela pori-pori karang Kenangkan musim yang agung. Dan membelatinya angin Berjabatlah dengan teluk kami, persinggahan di tahun datang

1957

Pulang

Dengan bertiupnya angin sehari-hari penuh pengejekan Dan pekayuan dipukul angin dan tertunjam, cintaku datang Dengan dendangnya mencariku di bawah belahan bintang Dan senyum padaku, memenuhi duniaku Jam demi jam, seperti saja dia belum almarhum.

Dan kutunggu dia di bawah pepohonan bungkuk, menunggu Kumaukan kemeja yang dipakainya; sandal-sandalnya yang hangus Seakan dia berjalan di atas api mendesirkan darahku sebagai Tanda kedatangannya, dan kuraih Kubawa ke rumah sampan dan kukubur di perut lantai.

Kuawasi pepohonan tepi air kukira Bumi seakan telah lama menatapku, dan cintaku Pergi mendanau seakan dia tak pernah kenal Tinggallah aku bimbang apa betul dia tak kenal Terlalu remaja! Aku pergi dan tersedu di rumah sampan.
1957


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MARGA BATAK TOBA

PUISI KONTEMPORER